ZingTruyen.Fan

Fight For It

08° In Depression

eipayow




"NGGAK USAH PEGANG-PEGANG GUE, BISA NGGAK?!"

Agis menyesap rokoknya dalam-dalam, bentakan itu masih sangat nyata terasa di telinganya beserta tamparan keras tangan kanan Putri pada pipi kirinya. Setelah itu ketika Agis masih berusaha menggapai tangan cewek itu, Putri kembali menepis kasar tangan Agis lalu menamparnya lagi di tempat yang sama.

Hati Agis teriris, melihat Putri yang jelas tak baik-baik saja setelah melihat hasil tes kehamilannya pada test pack itu benar-benar positif. Ini bahkan lebih nyeri dari cubitan Putri dan Novan pada dadanya, lebih menyakitkan ketimbang rasa mual disertai pusing yang Agis rasakan dua hari ke belakangan. Semuanya lebih dari itu, Putri kehilangan semua mimpi dan hidup remajanya karena kesalahan Agis.

"Ragista, hidup gue monokrom, cuma ada hitam sama putih doang dan itu membosankan. Sementara hidup lo penuh warna, indah dan menjadi rebutan semua orang. Gue mohon sama lo untuk jangan serakah, jangan lo pikir semua orang akan terus berpihak sama lo, apalagi lo rebut warna putih gue dan membuat hidup gue sepenuhnya gelap tanpa setitik cahaya sekalipun." ucap lirih Putri setelah heningnya antara dirinya dengan Agis setelah menampar keras pipi cowok itu, tatap matanya menyiratkan ia terluka, patah, sedih, marah, semua campur aduk.

Mendengar itu, Agis tak terima. Untuk yang satu ini, Agis marah pada kalimat asal Putri yang keluar dari mulutnya hanya dengan melihat dari matanya saja. Putri tak tahu apa yang Agis rasakan selama ini.

"Putri, bahkan pelangi aja munculnya cuma sebentar, itu pun harus dipancing dulu sama hujan." ucap Agis membuat Putri berdecak, cewek terlihat jauh lebih marah dari hari-hari sebelumnya. "Artinya, hidup gua nggak selalu berwarna, lo cuma liat apa yang selama ini mata lo liat. Lo belum tau apa-apa tentang gua, jangan asal ngomong."

"Persetan, Ragista! Sekarang balik! Gue muak liat muka lo!!"

Habis memberikan kalimat usiran kasar itu Putri berlari cepat masuk ke dalam rumah, membiarkan Agis berdiri dengan keputusasaan memandangi kepergian Putri dan kehilangan raganya ketika cewek itu menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Lalu tak ingin berlama-lama diam di sana untuk memancing emosi Putri lebih parah lagi, Agis pulang dengan hati yang hampa. Dan untuk meluapkan kemarahan pada dirinya sendiri, Agis membeli sebungkus rokok dan menikmatinya sendirian di ruang tengah unit apartemennya dengan bertelanjang dada dan masih dengan celana abu-abunya.

Tak peduli dengan waktu, bahkan kewajibannya untuk melaksanakan solat maghrib dan isya saja Agis lewatkan hanya karena menghabiskan semua waktunya untuk sebungkus rokok yang habis ia hisap.

Agis beranjak dari duduknya masih sambil menghisap rokoknya lalu jalan menuju kamarnya untuk mengambil hape yang belum sempat ia pegang sejak pulang sekolah tadi, tersimpan di dalam tas bersama buku-buku pelajarannya lalu menyalakannya.

Saat berbalik ingin kembali ke ruang tengah, tak sengaja Agis melirik pintu kamar mandi yang terbuka. Memori sore tadi membuat Agis menghela nafasnya, cowok itu berjalan ke kamar mandi dan masuk. Ia mengantongi hapenya terlebih dahulu kemudian membereskan yang berantakan di sana, tiga alat tes kehamilan tadi juga ia lihat lagi dan masih sama hasilnya.

Masih menampilkan dua garis yang menyatakan hasil tes urine Putri yang positif.

Kembali Agis menghela nafasnya, ketiganya ia simpan dan menyimpannya ke balik cermin di depannya. Mungkin tak terlihat seperti bisa di buka, sengaja, ini tempat persembunyian barang-barang berharga Agis yang menyentil amarah Bundanya jika berkunjung ke apartemen. Nggak jauh dari barang-barang tak berharga seperti mainan sih, ini juga sangat mahal dan Agis jelas harus menyembunyikannya dari ketiga temannya yang senang sekali datang dan mengacak.

Sampahnya Agis buang, cowok itu berjalan keluar kamar mandi lagi dan menutupnya rapat dan kembali pada tujuannya ke ruang tengah. Di sana Agis mematikan rokoknya yang hampir habis lalu digantikan dengan yang baru, kembali ia buka hapenya dan melihat beberapa pesan dari ketiga temannya dalam grup mau pun pribadi.

Tak enak rasanya jika Agis mengadu pada Darka tentang hal ini, apalagi pada Jeje yang jelas-jelas belum sepenuhnya move on dari Putri. Pilihan terakhir Agis jatuh pada Novan, cowok itu yang paling paham bagaimana Agis sejak awal, dimana saat Novan memergokinya saat pagi setelah malam itu terjadi.

"Kemana aja anjir lu baru aktif? Gua sama bocah dua panik takut lu kenapa-napa, di susulin ke unit elonya nggak ada. Gua takutnya lo kayak kemar-

"Pan," ucap Agis dengan suara seraknya membuat omelan Novan lantas berhenti lalu membiarkan Agis melanjutkan kalimatnya, "Putri hamil." tuntasnya lalu mengundang decakan dari balik sambungan teleponnya bersama Novan. "Gua harus ngapain?" katanya lagi dengan suara yang makin serak.

"Lu dimana? Unit?"

"Gimana, Pan? Gua takut bokap ngusir gua." lirih Agis tanpa menjawab pertanyaan Novan.

"Elu dimana, anjing?!" ketus Novan mulai pakai emosi, nada bicaranya pun sedikit meninggi.

"Putri bilang Ayah dia sakit, dia bingung cara bilang ke Ayahnya gimana kalau dia hamil."

"Gis-ck, lu dimana sekarang gua otw ke sana!"

"Cita-cita dia, gimana?"

"Sat, jawab gua dulu! Gua coba ke unit lo sekarang! Lu di sana?!"

"Cita-cita gua.......... Juga gimana?"

"RAGISTA!" bentak Novan tak bisa tahan emosinya lagi, suara motor terdengar di sana.

Agis terkekeh, "Jangan panggil gua Ragista, Pan. Lo ngingetin gua sama Putri."

"Gua otw ke unit lo." ucap Novan dengan suara dinginnya lalu sambungan pun terputus, Agis menurunkan genggaman hapenya lalu menyimpannya ke atas meja sambil agak di lempar.

Isak Agis kembali terdengar, air matanya keluar lagi dengan deras. Cowok itu berteriak sekeras mungkin, memikirkan kehamilan Putri membuatnya hampir gila rasanya.

Batang rokok yang masih menyala ia remas kuat-kuat, tak peduli dengan rasa panasnya yang melukai kulit telapaknya, Agis meremas rokoknya sampai padam dan bahkan hancur di tangannya.

Setelah itu Agis menunduk, kini kedua tangannya ia gunakan untuk memukuli kepalanya sekuat yang ia bisa. Agis marah pada dirinya sendiri, menyiksa dirinya sendiri seperti ini saja mungkin tak bisa merubah hasil dan mengubah perasaan Putri menjadi baik-baik saja.

Mengingat lagi wajah terluka Putri, tangisan pilunya, bentakannya, tamparannya. Agis semakin menambahkan tenaga untuk memukuli kepalanya, sampai akhirnya sadar ini tak cukup Agis menendang meja di depannya sampai barang-barang di atasnya ikut tergeser dan bahkan berjatuhan, Agis pindah duduk ke lantai menekuk lututnya dan kembali memukuli kepalanya dengan perasaan marah.

Bingung, setelah ini apa yang harus Agis lakukan untuk Putri? Tanggung jawab sudah pasti wajib untuk Agis lakukan, tapi bagaimana caranya? Bagaimana cara Agis menghadapi keluarga Putri? Belum lagi Ayahnya sendiri yang sedikit keras dan galak, apa yang akan Agis terima nanti saat memberitahukan berita ini pada sang Ayah? Lalu sekolahnya dengan Putri? Lingkungan mereka? Teman-teman? Dan Jeje?

Entah sengebut apa Novan selama perjalanan dari tempatnya ke unit Agis, pintu unit terbuka memunculkan cowok itu yang langsung berlarian mencari Agis. Kebetulan pintu masuk tidak hanya memakai kartu saja untuk mengaksesnya terbuka, ada password yang ketiga temannya sudah hapal diluar kepala sehingga lebih mudah untuk mereka keluar masuk dari unit Agis kapan saja.

Suara jerit tangis serta makian kata-kata kasar untuk Agis sendiri langsung sampai ke telinga Novan, cowok itu menghampiri Agis yang sudah kacau di lantai depan sofa panjang. Novan menarik kasar kedua tangan Agis dengan hati yang perih, sakit rasanya melihat teman dekatnya rapuh dengan keadaan yang menyulitkannya.

"PUKUL GUA, PAN! ABISIN GUA!! SEGINI NGGAK SEBANDING SAMA APA YANG PUTRI RASAIN, PAN!!"

Hati Novan terpukul mendengarnya, "Gis, sadar." lirihnya sambil mencekal erat-erat kedua tangan Agis yang ingin terus memukuli kepalanya.

"GOBLOK!! KENAPA LO SEGOBLOK INI, RAGISTA!! LO TOLOL! BEGO! OON! BODOH! BAJINGAAANN!!"




Fight For It
-




"Kalis," panggil Ayah lemah membuat Khalisa menoleh ketika menutup pintu kamarnya, keningnya berkerut ketika melihat wajah khawatir Ayah.

"Kenapa, Yah?" tanya Khalisa menghampiri Ayah yang sedang berdiri di depan kamar sang adik, Putri. "Putri masih belum mau keluar kamar?" tanyanya lagi paham arti kekhawatiran Ayahnya.

Ayah mengangguk, "Dari maghrib tadi, Putri pulang dengan keadaan yang nggak biasanya. Putri nangis, Lis, dia langsung mengunci diri di kamar bikin Ayah khawatir." katanya mengadu.

"Kenapa Ayah nggak dobrak aja?" tanya Khalisa sambil berjalan mendekat dengan perasaan yang ikut khawatir.

"Ayah nggak berani, Lis. Ayah juga terlalu lemes karena khawatir." jawab Ayah membuat Khalisa menghela nafas, cewek itu lalu mencoba membuka pintu Putri namun benar adanya ini dikunci dari dalam.

"Putri, buka pintunya dulu. Udah makan belum?" panggil Khalisa untuk berbasa-basi sambil mengetuk pintu kamar Putri dengan pelan, namun tak ada jawaban dari dalam. "Putri, seenggaknya keluar dulu, ini Ayah sama Kakak khawatir." katanya lagi.

Khalisa melirik Ayah yang wajahnya luar biasa khawatir, cewek itu jadi tak tega dan berdecak sebal karena tumben sekali Putri seperti ini.

Khalisa mengetuk pintu lagi dengan lebih nyaring, "Putri! Buka pintunya!" katanya yang mulai berbicara tegas juga.

Hasilnya tetap sama, Putri tak membalas dari dalam.

"Ayah munduran, aku mau coba dobrak." ucap Khalisa membuat Ayah lalu mundur memberi jarak, cewek itu mengambil nafasnya perlahan sambil mengumpulkan kekuatan sampai akhirnya menabrakkan lengannya ke pintu dengan keras sambil memainkan knop pintu.

Beberapa kali Khalisa mencobanya dengan mengerahkan semua tenaganya, namun mengingat Khalisa ini perempuan, pintu akhirnya tetap kokoh terkunci tanpa sedikit pun celah yang terlihat jika pintunya akan terbuka saat Khalisa mendobraknya.

Lalu dengan cepat Khalisa berlarian keluar rumah memanggil anak tetangga yang seumurannya untuk membantu Khalisa mendobrak pintu kamar Putri, beruntung yang dicarinya sedang berada di rumah dan segera beranjak pergi ke rumah Khalisa.

"Udah, Lis, lo jangan ikutan, biar gua aja sendiri yang dobraknya." ucap Rizky, si anak tetangga yang menarik Khalisa untuk menyingkir dari pintu.

Benar saja, karena kekuatan Rizky lebih besar, maka mendrobak pintu pun hanya dilakukannya empat kali saja langsung terbuka.

Rizky masuk memimpin dengan Khalisa dan Ayah yang menyusul ke dalam, kamar Putri rapi sekali dan tak ada tanda-tanda keberadaan Putri. Hanya ada tas sekolahnya saja yang tersimpan di atas kasurnya. Semua panik, apalagi suara shower dari arah kamar mandi menyala membuat ketiganya secara otomatis membuka pintu kamar mandi dengan cemas.

"Putri, anak Ayah." lirih Ayah ketika melihat Putri tak sadarkan diri di lantai kamar mandi dengan pakaian yang masih berseragam sekolah di bawah kucuran air dari shower, wajahnya begitu pucat dengan kulit tangannya yang sudah keriput.

Dengan cepat Rizky memberikan hapenya pada Khalisa, "Cepetan telepon si Bayu, anaknya lagi di depan gang, suruh siapin mobil. Kita ke rumah sakit." katanya lalu berjongkok ke samping Putri dan mengangkat tubuh cewek itu, sementara Khalisa sendiri dengan tangan yang bergetar mencoba menelepon teman mereka yang satunya lagi sambil mematikan shower.

"Ayah siap-siap, kita ke rumah sakit sekarang." titah Khalisa yang dibalas anggukan Ayah lalu dengan segera Ayah bergegas ke kamarnya, "Bay, gue minta tolong sama lo anterin Putri ke rumah sakit sekarang juga." katanya saat telepon tersambung.

Khalisa keluar dari kamarnya paling terakhir, membiarkan Rizky berlarian keluar rumah membawa Putri yang basah kuyup. Cewek itu sempat berhenti di samping ranjang Putri dan terpaku memandangi tas Putri di sana, setelah sambungan terputus dengan Bayu, Khalisa menangis sambil meraih tas Putri lalu memeluknya.

Banyak sekali prasangka buruk dalam otaknya, dari saat Putri yang tak sampai menjemputnya di Blue Sky, lalu Putri yang semalaman tak pulang dan tiba-tiba pulang pagi dengan wajah super bengkak habis menangis, lalu dijemput teman laki-lakinya sampai berdebat dahulu di depan rumah. Belum lagi sikap Putri yang agak berbeda ketika menatapnya, walaupun memang sudah datar dari sananya, Putri nggak pernah lebih datar lagi setelah malam itu tak pulang.

Sampai tak lama terdengar suara Ayah yang keluar dari kamarnya membuat Khalisa segera keluar rumah, tak lupa juga Khalisa membawa beberapa barang Putri karena sudah berfirasat bahwa adiknya ini tak akan pulang malam ini.

Tak pernah seumur hidup Khalisa mau pun Ayah mendengar jika Putri akan menyakiti dirinya sendiri bahkan ketika cewek itu sedang dalam kondisi yang sangat marah, Putri juga hangat pada keluarganya walau kadang tatapan datarnya terlihat mengintimidasi dan dingin.

Tapi hari ini, Putri mereka menyakiti dirinya sendiri dan hampir saja akan pergi jika saja tak segera ditangani.

Sampai di rumah sakit, Khalisa lebih kaget lagi saat di panggil dokter ke ruangannya untuk memberitahukan keadaan Putri. Jiwa Khalisa serasa hilang, merasa menjadi kakak yang sangat tak berguna.

"Kondisi Putri tidak terlalu parah, namun memang untuk dua hari ke depan sebaiknya dirawat inap dulu. Apalagi tubuh Putri benar-benar harus tetap fit karena tak hanya menjaga dirinya sendiri. Maaf sebelumnya, apa pergaulan Putri terlalu bebas?"

"Memangnya ada apa, Dok?"

"Putri sedang mengandung, usianya baru dua hari dengan hari ini."

"Y-ya?"




Bạn đang đọc truyện trên: ZingTruyen.Fan